Senin, 27 April 2020

Daftar Nama Kerajaan di Kepulauan Maluku

Guru Madrasah
Kepulauan Maluku adalah sekelompok pulau yang terletak di lempeng Australia. Kepulauan Maluku berbatasan dengan Pulau Sulawesi di sebelah barat, Nugini di timur, dan Timor Leste di sebelah selatan. Pada zaman dahulu, bangsa Eropa menamakannya "Kepulauan rempah-rempah"  istilah ini juga merujuk kepada Kepulauan Zanzibar. Sejak 1950 - 1999, Kepulauan Maluku Utara secara administratif merupakan bagian dari Provinsi Maluku. Kabupaten Maluku Utara kemudian ditetapkan sebagai Provinsi Maluku Utara.

Provinsi Maluku dan Maluku Utara membentuk suatu gugus-gugus kepulauan yang terbesar di Indonesia dikenal dengan Kepulauan Maluku dengan lebih dari 4.000 pulau baik pulau besar maupun kecil. Maluku memiliki sejarah panjang tentang kerajaan dan kesultanan yang pernah dan masih berkuasa di Kepaulauan Maluku. Berikut ini beberapa kerajaan dan kesultanan yang ada di kepulauan Maluku.

Kesultanan Bacan (1521-1950) M
Kesultanan Bacan adalah suatu kerajaan yang berpusat di Pulau Bacan, Kepulauan Maluku. Raja Bacan pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun 1521. Meski berada di Maluku, wilayahnya cukup luas hingga ke wilayah Papua Barat. 

Banyak kepala suku di wilayah Waigeo, Misool yang terletak di Raja Ampat dan beberapa daerah lain yang berada di bawah administrasi pemerintahan kerajaan Bacan. Bachanatau Batjan dan diduga sudah eksis sejak tahun 1322.

Kesultanan Ternate (1257–1950) M
Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan Gapi merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada tahun 1257. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.

Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama).

Kerajaan Tanah Hitu (1470-1682)
Kerajaan Tanah  Hitu terletak di Pulau Ambon, tepatnya di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia. Dinamakan Kerajaan Tanah Hitu karena letaknya berada di daerah Leihitu. Kini, nama Tanah Hitu sudah tidak ada lagi, yang  ada adalah Kecamatan Leihitu yang kadang biasa disebut dengan Jazirah Leihitu.

Kerajaan ini didirikan oleh Empat Perdana yang ingin mencari tahu faedah baik dan tidak adanya Raja. Empat Perdana tersebut bersepakat untuk bersatu dan mereka  akhirnya mendirikan Kerajaan Tanah Hitu. 
 Kepulauan Maluku adalah sekelompok pulau yang terletak di lempeng Australia Daftar Nama Kerajaan di Kepulauan Maluku
Hasil  musyawarah menentukan bahwa yang pantas sebagai pemimpin adalah anak dari Pattituri, adik kandung Perdana Tanah Hitu yang bernama Zainal Abidin dengan pangkat  Abubakar Na Sidiq. Pada tahun 1470, Zainal Abidin kemudian ditetapkan sebagai Raja Kerajaan Tanah Hitu yang pertama dengan gelar Upu Latu Sitania (Raja Penguasa Tunggal). Ia juga mendapatkan gelar Raja Tanya.

Masa pemerintahan  Raja Hunilamu (1637-1682) merupakan periode terakhir dari kerajaan ini. Hingga  kini, secara turun-temurun kerajaan tersebut diintegrasikan dalam bentuk  kepemimpinan kepala desa di Desa Hitu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia. Artinya, hingga kini kepala desa juga  merangkap sebagai raja.

Kesultanan Tidore (1081–1950) M
Kesultanan Tidore adalah kerajaan Islam yang berpusat di wilayah Kota Tidore, Maluku Utara. Pada masa kejayaannya (sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18), kerajaan ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat.

Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugal. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugal sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah satu kerajaan paling merdeka di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.

Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Tidore pertama adalah Muhammad Naqil yang naik tahta pada tahun 1081. Baru pada akhir abad ke-14, agama Islam dijadikan agama resmi Kerajaan Tidore oleh Raja Tidore ke-11, Sultan Djamaluddin, yang bersedia masuk Islam.

Kerajaan Iha (1400-1651) M
Kerajaan Iha adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Saparua, Maluku. Di Pulau Saparua sampai pada masa penjajahan Belanda ada dua kerajaan yang terkenal yaitu Iha dan Honimoa (Siri Sori Islam). Kedua kerajaan Islam yang cukup berpengaruh ini sempat dikenal sebagai sapanolua artinya dua sampan atau dua perahu.  Nama Amahai sudah ada sejak  negrasi besar-besaran dari nunusaku, yaitu kira-kira pada tahun 1400 M.

Raja iha pertama bernama Latu Sapacua yang artinya raja yang sangat dijunjung tinggi. Kerajaan Iha memiliki ibu kota kerajaan dalam bahasa Amaiha disebut “Amalatu” yang terletak di bagian utara Nusa Iha (pulau saparua) yang dikenal dengan sebutan jazirah Hatawano dengan taman sarinya bernama “Kupa Latu”. Kota raja ini terletak di atas gunung Amaihal. Raja Kerajaan Iha disebut “Upu Latu” dengan gelar Latu Sapacua Latu.

Kerajaan Iha terlibat dalam sebuah perlawanan melawan kolonial Belanda yang disebut Perang Iha (1632-1651) yang mengakibatkan kerajaan ini kehilangan sebagian daerah dan rakyatnya sehingga kemudian mengalami kemunduran.

Kerajaan Waai
Negeri Waai terletak di Pulau Ambon, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Para datuk dan nenek moyang masyarakat Waai berasal dari Pulau Seram dan Jawa ( Tuban ). Semula ada tujuh buah kampong atau Eri yang kemudian bersepakat untuk mencari suatu negeri yang saat ini dikenal dengan nama Waai. 

Meskipun mereka berkuasa secara otonom di negeri masing-masing namun mereka tunduk pula kepada kuasa seorang Sultan (pimpinan Agama Islam ) yang pada waktu itu berekdudukan di Eri Eluhu yakni Nuhurela. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa ketujuh eri tesebut adalah beragama Islam. Dapat dibuktikan dengan adanya bangunan Masjid di Eri Nani, yang nantinya baru pada abad ke – 17 datanglah orang-orang Kristen melalui usaha para Zendeling.

Kesultanan Loloda (1200-1662)
Kesultanan Loloda terletak di Halmahera Utara, dan diyakini sebagai salah satu kerajaan tertua di Maluku. Kerajaan Loloda terbentuk berkisar tahun 1200, karena pada tahun 1250 terjadi perkawinan antara Raja Loloda dan Putri Jailolo. Sehingga diperkirakan Loloda lebih dulu terbentuk dari kerajaan Jailolo, jadi ada perkawinan politik antara penguasa loloda dan penguasa jailolo dan akhirnya pada tahun 1250 kerajaan jailolo teritorialnya mencakup hampir seluruh Halmahera termasuk kerajaan Loloda. 

Ketika bangsa eropa tiba di Maluku awal abad 16 kerajaan Loloda sudah tidak berperan dan tidak berpengaruh karena sudah diamuksasi oleh kerajaan ternate, namun hingga tahun 1662 rakyat diberikan kesempatan menggunakan gelar kolano raja Loloda

Sejarawan Paramita Abdurrahman mencatat bahwa menurut sumber dari Negara Krtagama dari zaman Majapahit sebagaimana ditulis oleh Mpu Prapanca, menyebutkan bahwa pada masa paling awal telah berkuasa seorang Kolano (raja) di Loloda, Halmahera. Selain itu ada beberapa pendapat lain yang menjelaskan tentang berdirinya Kesultanan Loloda .

Kesultanan Jailolo (1600-akhir Abad 17) M
Kesultanan Jailolo diketahui sejak abad ke-16. Terletak di pulau Halmahera, Kab. Halmahera Barat, Prov. Maluku Utara. Kesultanan Jailolo secara utuh dari raja pertamanya “Kolano Daradjati”. Daftar sisilah raja-raja Jailolo tersebut terdiri dari tiga bagian. 

Sebelum abad ke-17, ada satu kerajaan Islam, Kesultanan Jailolo, yang berpusat di Pulau Halmahera, pulau terbesar di Maluku Utara. Menurut legenda yang sempat dicatat sampai abad ke-14, kesultanan Jailolo merupakan kerajaan tertua di Maluku Utara hingga pada akhir abad ke-17 tidak tercatat lagi secara administratif karena dianeksasi oleh Kesultanan Ternate dengan bantuan VOC.

Setelah peristiwa aneksasi Kesultanan Jailolo oleh Kesultanan Ternate, muncul kembali upaya menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo dari masyarakat Halmahera Utara. Upaya itu dimulai pada dekade pertama abad ke-19. Sayangnya hingga pertengahan abad ke-19, upaya itu tidak berkelanjutan.