Teks ulasan adalah teks yang berisi tinjauan suatu karya baik berupa film, buku, maupun karya lainnya untuk mengetahui kualitas, kelebihan dan kekurangan yang dimiliki karya tersebut yang ditujukan untuk pembaca atau pendengar khalayak ramai. Ulasan atau resensi/review biasa dilakukan atas suatu karya disekitar sebagai umpan balik dari rasa kritis terhadap hal tersebut. Ulasan yang berbentuk teks disebut sebagai teks ulasan. Seorang kritikus dalam mengulas sebuah film atau drama harus bersikap jujur mengungkapkan pendapat dan pandangannya terhadap apa yang telah disaksikannya. Jujur di sini artinya bersikap terbuka dalam mengemukakan kelebihan dan kekurangan pertunjukan itu.
Pada bagian ini kita akan mencoba membandingkan tiga teks ulasan, yaitu dua teks ulasan film dan satu teks ulasan drama, yang masing-masing berjudul “Belajar Ikhlas dari ‘Hafalan Shalat Delisa’”, “Gara-Gara Kemben, Film ‘Gending Sriwijaya’ Diprotes Budayawan”, dan “’Mengapa Kau Culik Anak Kami?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab”. Kegiatan membandingkan teks merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menemukan perbedaan dan persamaan antara beberapa teks. Pada kegiatan ini diharapkan nantinya dapat membandingkan teks ulasan baik dari segi struktur maupun isi teks. Struktur teks ulasan terdiri dari orientasi^tafsiran isi^evaluasi^rangkuman. Berikut ketiga struktur teks ulasan tersebut.
Struktur teks “ belajar ikhlas dari “ Hafalah Sholat Delisa”
No. | Struktur Teks | Kalimat |
1. | Orientasi 1 | Pagi hari dalam sebuah ruang sekolah di Lhok Nga, desa kecil di Pantai Aceh, pada 26 Desember 2004, Delisa (Chantiq Schagerl) berupaya khusyu menjalankan praktik shalat di depan Ustad Rahman dan Ustazah Nur yang mengujinya. Ibunya, Ummi Salamah (Nirina Zubir), bersama beberapa ibu lainnya menyaksikan dari luar jendela. Ucapan Sang Ustad sebelumnya agar dia tetap fokus pada shalat meski apapun yang terjadi di sekelilingnya benarbenar ditaati gadis kecil itu. Termasuk juga gempa yang mengguncang dan plafon atap mulai berjatuhan. Bahkan ketika ustad Rahman dan guru penguji lain lari keluar dan teriakan panik ibunya tidak membuatnya beranjak. Dia tetap membaca doa shalat yang dihafalnya. Air bah tsunami pun meluluhlantakkantempat itu dan menenggelamkan Delisa. |
2. | Tafsiran isi 1 | Scene yang dahsyat dari film “Hafalan Shalat Delisa” jangan bandingkan dengan teknologi 3D film Amerika untuk mendeskripsikan tsunami tersebut-membuat saya terhenyak. Seandainya saja saya yang shalat pada saat terjadi bencana, apakah saya akan lari atau tetap shalat dengan risiko mati dalam keadaan shalat sulit dibayangkan. Film berlatar belakang bencana tsunami yang melanda Aceh dan berbagai tempat di Asia Tenggara ini menewaskan ratusan ribu jiwa dan meninggalkan duka yang mendalam. |
3. | Tafsiran isi 2 | Film ini dibuka dengan beberapa adegan manis dua hari sebelum malapetaka itu. Delisa tinggal bersama Ummi dan tiga kakaknya, Fatimah (Ghina Salsabila), dan si kembar Aisyah (Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi). Abi Usman, ayahnya (Reza Rahadian), bekerja di sebuah kapal tangker asing nun jauh dari tempat tinggal mereka. Delisa digambarkan sulit melakukan hafalan shalat, dibangunkan shalat subuh juga susah. Umminya sampai menjanjikan sebuah kalung berhuruf D yang dibeli dari toko milik Koh Acan (dimainkan dengan menarik oleh Joe P Project), jika Delisa lulus ujian praktik shalat. Seperti anak-anak kecil umumnya, Delisa senang bermain. Dia ingin belajar bersepeda dari Tiur dan bermain bola dengan Umam. Saya suka dengan akting Nirina Zubir yang mampu menghidupkan spontanitas seorang ibu ketika Aisyah cemburu pada Delisa atau Delisa sedang sedih. Ia juga menjadi imam ketika shalat bersama putri-putrinya. Awalnya akting anak-anak ini agak kaku, namun Nirina mampu membuat suasana hidup. Segmen ini milik Nirina. |
4. | Tafsiran isi 3 | Setelah tsunami menghantam, Delisa diselamatkan seorang ranger (tentara) Amerika Serikat bernama Smith (Mike Lewis). Sayang, kaki Delisa harus diamputasi. Dia juga dikenalkan dengan Sophie, relawan asing lainnya yang bersimpati pada Delisa. Delisa tahu bahwa ketiga kakaknya sudah pergi ke surga, juga Tiur dan ibunya, serta ustazah Nur. Semua digambarkan dengan surealis melintas sebuah gerbang di lepas pantai menunju negeri dengan mesjid yang indah. Namun keberadaan ibunya masih misteri. Melihat keadannya, Smith ingin mengadopsi Delisa. Lelaki itu ingat putrinya yang mati dalam kecelakaan bersama ibunya. Namun kemudian ayahnya datang. Dia kemudian harus membangun hidupnya kembali bersama putrinya sebagai single parent. |
5. | Tafsiran Isi 4 | “Hafalan Shalat Delisa” tidak terjebak dengan melodrama yang klise. Ada kesedihan yang membuat air mata keluar, tetapi hidup tetap harus berjalan. Delisa dengan kaki satu berupaya tegar, termasuk juga membangkitkan semangat Umam yang remuk dengan bermain bola. Gadis ini juga memberi inspirasi pada ustad Rahman yang sempat patah semangat. Percakapan ustad Rahman dengan Sophie di kamp pengungsi menjadi adegan menyentuh lainnya. “Mengapa Allah menurunkan bencana ini?” Kira-kira demikian keluhan ustad itu. Sophie menjawab, “Coba tanya Delisa. Dia kehilangan tiga kakaknya, ibunya, sebelah kakinya, tetapi dia ingin bermain bola.” |
6. | Tafsiran isi 5 | Pada segmen ini, akting Chantiq Schagerl memukau. Aktingnya mengingatkan pada Gina Novalista dalam “Mirror Never Lies” yang menjadi nominasi artis terbaik FFI 2011. Dia mampu mengimbangi akting Reza Rahadian yang memang gemilang sebagai seorang ayah yang sempat remuk hatinya. Scene ketika ayahnya membawa Delisa di reruntuhan rumah mereka sangat menggigit. “Abi akan bangun rumah kita lagi!” dengan tegas ayahnya berkata. Adegan ketika Usman gagal membuat nasi goreng yang seenak buatan Ummi juga menarik. Betapa susahnya menjadi single parent bagi seorang laki-laki. Termasuk ketika air mata saya tidak bisa dibendung lagi melihat adegan Delisa memeluk ayahnya, “Delisa cinta Abi karena Allah!” |
7. | Tafsiran isi 6 | Kehadiran Koh Acan juga menghidupkan suasana. Hal ini merupakan human interest dalam film ini. Ketika dia menawarkan bakmi buatannya pada Delisa di kamp pengungsian memberikan kesegaran. Begitu juga dia menengok Delisa yang sakit karena kehujanan. Tentunya membawakan bakmi kesukaannya. |
8. | Evaluasi | Film ini menuju sebuah ending apakah umminya selamat atau setidaknya ditemukan tubuhnya. Hal ini juga begitu menggetarkan. Namun, apapun itu Delisa digambarkan sebagai sosok yang ikhlas. Tentunya dia juga bertekad menuaikan janjinya menyelesaikan hafalan shalatnya. “Delisa shalat bukan demi kalung, tetapi ingin shalat yang benar.” |
9. | Rangkuman | Film yang diangkat dari novel laris karya Tere Liye ini merupakan film akhir tahun dan sekaligus juga film menyambut awal tahun 2012 yang manis. Cocok diputar untuk menyambut peringatan tsunami sekaligus juga hari ibu. (Sumber: http://hiburan.kompasiana.com) |
Gara-Gara Kemben, Film “Gending Sriwijaya” Diprotes Budayawan
No. | Struktur Teks | Kalimat |
1. | Orientasi 1 | Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai kontroversi. Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumatera Selatan protes karena menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan Sriwijaya. Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film itu juga dianggap keliru. “Harus direvisi sebelum ditayangkan karena bisa jadi pembiasan sejarah,” tegas Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi Rangkuti, Minggu (21/10/2012). |
2. | Orientasi 2 | Film Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menggunakan dana APBD senilai Rp11 miliar. Dalam anggaran disebutkan film yang akan dibuat berjenis film dokumenter. Setelah selesai film ini dikelola Badan Aset Daerah. Tender film dimenangi Putar Production pada April 2012. Ini kerja sama kedua setelah film “Mengejar Angin”. |
3. | Tafsiran Isi 1 | Nurhadi menilai kelemahan film Gending Sriwijaya terletak pada cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja (dalam film disebut Raja Dapunta Hyang Srijayanasa. Nama Dapunta Hyang terukir di Prasasti Kedukan Bukit, 864 Masehi). Menurut Nurhadi, dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak pernah terjadi pertentangan. Kehancuran Sriwijaya yang pernah menjadi kerajaan maritim terbesar di Nusantara disebabkan faktor eksternal, tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan tampuk kekuasaan di antara keturunan raja. |
4. | Tafsiran isi 2 | “Pertentangan dan kehancuran kerajaan diriwayatkan terjadi karena ada serangan dari luar kerajaan,” tegas Nurhadi. Ketua Yayasan Kebudayaan Tandipulau, Erwan Suryanegara, protes lebih keras. “Saya berani pasang leher untuk menentang film ini,” katanya. |
5. | Tafsiran isi 3 | Budayawan yang mendapat Magister Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung ini mengatakan, kisah yang diceritakan terkesan mengadaada karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan Sriwijaya. Dua hal ini merupakan objek yang berbeda. Gending Sriwijaya merupakan nama tarian yang diciptakan pada tahun 1943 ketika zaman penjajahan Jepang sebagai tarian penyambut petinggi Jepang ketika itu. Tari ini diciptakan Sukainah Arozak, syair diciptakan A. Muhibat. Sementara Kerajaan Sriwijaya dikisahkan dalam sejarah mengalami kejayaan pada abad ke-7 hingga ke-13 masehi. “Dua hal ini merupakan kisah yang berbeda, tidak dapat disatukan. Selisih waktu di antara keduanya jauh, berabad-abad,” jelasnya. |
6. | Evaluasi | Erwin mempermasalahkan riset yang dilakukan sutradara dan penulis skenario film karena menurutnya film ini tidak didukung riset yang cukup akan latar belakang sejarah Sriwijaya. Kekeliruan riset juga ditunjukkan dengan kostum yang dikenakan para pemain tidak sesuai pada masanya. Para pemain mengenakan pakaian yang tidak bercirikan pakaian Melayu ketika itu. “Kemben yang digunakan itu bukan pakaian sehari-hari masyarakat ketika itu. Bagi kami, pakaian itu merupakan pakaian khusus untuk ke sungai jika hendak mandi,” ungkap budayawan yang juga menjadi pengajar di Palembang ini. |
7. | Rangkuman | Sama seperti Nurhadi, perebutan kekuasaan antara kedua anak raja kerajaan yang diceritakan dalam film ini juga dipertanyakan Erwin. Sinopsis film Gending Sriwijaya mengisahkan perebutan tahta kerajaan antara dua orang anak Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa (diperankan Slamet Rahardjo), yakni Awang Kencana (Agus Kuntjoro) dan Purnama Kelana (Syahrul Gunawan). “Tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan kekuasaan oleh dua anak raja Kerajaan Sriwijaya,” tegasnya. (Sumber: www.tribunnews.com) |
Disebutkan oleh penulis teks ulasan “Gara-Gara Kemben, Film “Gending Sriwijaya” Diprotes Budayawan”, Ilm, bahwa film “Gending Sriwijaya” ini menuai kontroversi. Mengapa? Karena beberapa budayawan dan peneliti sejarah Sumatra Selatan tidak srek (protes) dengan adanya film tersebut. Hal ini disebabkan karena alur cerita film menyimpang dari sejarah Kerajaan Sriwijaya.
Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi Rangkuti, mengatakan film ini bisa menimbulkan pembiasan sejarah. Apa maksudnya? Maksud pembiasan sejarah adalah salah mengartikan atau salah pemahaman tentang sejarah yang sebenarnya, sehingga menyebabkan pembaca tidak mengetahui yang sebenarnya, karena film tersebut mengandung isi yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Tahukah kalian kebenaran sejarah yang melatarbelakangi kehancuran Kerajaan Sriwijaya? Kehancuran Sriwijaya dilatarbelakangi oleh faktor eksternal, yaitu serangan dari kerajaan luar.
Apa pula maksud kemben yang disebut-sebut dalam teks ulasan tersebut? Kemben adalah pakaian tradisional seperti jarik yang digunakan sampai ke bagian dada. Yang biasanya digunakan ke sungai ketika hendak mandi.
Teks “’Mengapa Kau Culik Anak Kami?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab
No. | Struktur Teks | Kalimat |
1. | Orientasi 1 | “Apa orang-orang itu tidak punya seorang ibu yang setidak-tidaknya pernah memperkenalkan kasih sayang, kelembutan cinta....” “Apa kamu pikir orang-orang itu dilahirkan oleh seorang ibu?” “Apa mereka lahir dari batu?” “Mereka dilahirkan oleh rahim kekejaman.” Dialog itu diucapkan tokoh Ibu dan Bapak yang diperankan Niniek L. Karim dan Landung Simatupang dalam drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” ditulis dan disutradarai oleh Seno Gumira Ajidarma. Banyak penonton berkaca-kaca matanya menyaksikan pementasan drama sepanjang 75 menit itu, yang selama itu pula suasana dicekam oleh kepiawaian akting dua aktor andal itu, yang satu dari Jakarta dan satu lagi dari Yogyakarta. |
2. | Orientasi 2 | Drama ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 6—8 Agustus 2001, dan setelah itu digelar di Societeit, Taman Budaya, Yogyakarta, 16—18 Agustus. Pertunjukan diproduksi oleh Perkumpulan Seni Indonesia bekerja sama dengan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). |
3. | Orientasi 3 | Panggung diisi oleh garapan artistik dari tokoh yang juga jarang muncul, yakni Chalid Arifin, lulusan Institut Des Hautes Etudes Cinematographiques, Perancis. Suasananya serba minimalis, sampai ke tata lampu maupun garapan musik oleh Tony Prabowo yang dimainkan oleh Budi Winarto dengan saksofon soprannya. |
4. | Orientasi 3 | Drama tersebut diilhami oleh peristiwa penculikan aktivis di era Orde Baru- Soeharto. Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” berwujud obrolan antara tokoh suami dan istri yang anaknya diculik dan belum kembali. Obrolan terjadi menjelang tengah malam. Bapak mengenakan sarung dan berkaus oblong, sedangkan Ibu bergaun panjang. |
5. | Orientasi 4 | Kalau dilihat secara sederhana, obrolan terbagi dua fase: fase pertama menyangkut tindak kekejaman secara umum yang dilakukan oleh tentara, fase kedua memfokuskan pada kehidupan Ibu-Bapak itu, yang anaknya, Satria (diperankan oleh korban penculikan yang sebenarnya, aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, Nezar Patria) hilang diculik penguasa. |
6. | Tafsiran isi 1 | Berlatarkan pada situasi politik sekarang yang cenderung ingin melupakan korban-korban penculikan yang sampai kini tak ketahuan rimbanya, drama ini serentak menemukan relevansi sosialnya. Dengan langsung menunjuk peristiwa-peristiwa kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia termasuk pada tahun 1965, drama ini sendiri lalu seperti berada di wilayah “kesenian kontemporer” dengan sifat khasnya: meleburnya batas antara kesenian dan kehidupan nyata; antara ruang pribadi dan ruang publik; dan seterusnya. Apa yang dialami si Ibu-Bapak Niniek dan Simatupang, adalah juga pengalaman sehari-hari sekian orangtua yang kehilangan anak-anaknya, anak yang kehilangan bapaknya, diculik oleh genderuwo penguasa politik. |
7. | Tafsiran isi 2 | “Ini hanya sebuah kopi dramatik dari peristiwa yang sebenarnya,” kata Seno Gumira. Seno sendiri yang lebih dikenal khalayak sebagai penulis cerpen sebenarnya juga pernah menggauli penulisan naskah drama. Ia pernah bergabung dengan Teater Alam, Yogyakarta, pimpinan Azwar A.N. pada pertengahan 1970-an. Ia pernah menggelar drama karyanya berjudul “Pertunjukan Segera Dimulai” pada 1976. Belakangan, ia mementaskan “Tumirah Sang Mucikari” (1998) yang diilhami oleh huru-hara politik di Tanah Air. |
8. | Tafsiran isi 3 | “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” sendiri, dari segi naskah dan strategi pementasan, boleh jadi oleh penulis dan sutradaranya tidak langsung diparadigmakan dalam gagasan-gagasan yang mendasari peleburan batas kesenian dan kehidupan seperti diwacanakan oleh seni kontemporer. Suasana penantian, misalnya, mungkin masih seperti mengacu pada “modernisme” Becket, taruhlah dalam Waiting for Godot. |
9. | Evaluasi | Namun, para pendukung, katakanlah Niniek, Simatupang, serta tidak ketinggalan penata musik, Tony Prabowo, dengan kematangannya telah menjembatani apa yang bisa dicapai naskah tersebut dengan publiknya. Ini masih didukung adegan sekilas yang menjadi penting, ketika Nezar Patria tiba-tiba muncul di panggung beberapa detik. Sementara saksofon yang melengkingkan blues oleh Budi Winarto yang menandai pergantian babak, setiap saat menggarisbawahi, betapa pahit dan mengenaskan sebetulnya hidup di republik ini. Itulah yang membuat hati banyak orang teriris dan sebagian menjadi sembab matanya ketika keluar dari gedung pertunjukan. |
10. | Rangkuman | Di panggung, Niniek berujar, “Sudah setahun lebih. Setiap malam aku berdoa mengharapkan keselamatan Satria, hidup atau mati. Aku hanya ingin kejelasan....” Sementara Simatupang berdiri, maju ke ujung panggung dan bermonolog, “Mengapa kau culik anak kami? Apa bisa pertanyaan ini dijawab oleh seseorang yang merasa memberi perintah menculiknya?” Pertanyaan itu belum terjawab di atas pentas. Juga di luar pentas. |
Teks di atas mengulas sebuah drama berjudul “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” Sebelum penulis teks masuk pada bagian orientasi, terdapat dialog antara tokoh Ibu dan Bapak. Apa yang mereka bicarakan?Mereka membicarakan tentang kekejaman seseorang yang telah menculik anaknya tanpa alasan apapun (belum ada kejelasan). Mereka selalu berdoa mengharapkan keselamatan anaknya (Satria).
Ada berapa paragrafkah orientasi yang terlihat pada teks tersebut? Pada teks tersebut terdapat 4 paragraf orientasi yaitu paragraf 1 sampai dengan 4 didalam paragraph-paragraf tersebut terdapat gambaran umum mengenai drama tersebut dan terdapat paparan tentang nama,kegunaan dan sebagainya.
Apa tema yang diangkat dalam drama yang ditulis dan disutradarai Seno Gumira Ajidarma ini? “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” mengangkat tema politik. Dalam drama tersebut bercerita mengenai keadaan politik dan peristiwa kekerasan yang terjadi pada tahun 1965 dan seterusnya dimana tidak adanya kejelasan dan hentinya hingga akhir-akhir ini, politik Negara yang carut-marut.
Mengapa banyak mata penonton yang berkaca-kaca setelah menyaksikan pementasan drama tersebut? Karena suasana cerita dapat mencengkam oleh kepiawaian acting dua actor handal(sebagai ibu dan bapak).
Termasuk corak apa teks ulasan di atas? Mengapa? Dalam teks ulasan tersebut merupakan corak kritik apresiasi dimana sang pengulas memberikan tanggapan positif terhadap film ini.
Memang kekurangan merupakan dorongan atas penulisan kritik, tetapi kalian mesti membuka diri untuk melihat bagian-bagian positifnya untuk dikemukakan kepada khalayak dalam ulasan yang kalian bangun. Apabila memungkinkan, dalam mengulas sebuah karya dari sisi negatifnya, kalian memberikan jalan keluarnya. Kritikus yang demikian akan disegani dan dihormati serta didengar pendapatnya karena kritiknya jujur, benar, dan bermanfaat.
Pada ketiga teks ulasan tersebut, terdapat kelebihan, kekurangan, dan jalan keluar yang diberikan penulisnya pada kolom di bawah ini
No. | Judul Teks Ulasan | Kelebihan | Kekurangan | Jalan Keluar |
---|---|---|---|---|
1. | Belajar Ikhlas dari hafalan shalat Delisa |
|
|
|
2. | Gara-gara Kemben Film Gending Sriwijaya |
|
|
|
3. | “Mengapa Kau Culik Anak Kami” Pertanyaaan Itu Belum Terjawab |
|
|
|
Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan. Misalnya: Berita itu muncul dalam harian Kompas. Tanda petik (“...”) dipakai untuk mengapit judul puisi, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat. Misalnya: Sajak “Pahlawanku” terdapat pada halaman 5 buku itu. Oleh sebab itu, penulisan judul film atau drama yang dipakai dalam kalimat menggunakan tanda petik (“...”), sedangkan judul novel dituliskan dengan huruf miring.
No. | Kalimat | Benar | Salah |
1. | Scene yang dahsyat dari film “Hafalan Shalat Delisa” membuat saya terhenyak. | √ | - |
2. | Aktingnya mengingatkan pada Gina Novalista dalam Mirror Never Lies yang menjadi nominasi artis terbaik FFI 2011. | - | √ |
3. | Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” ditulis dan disutradarai oleh Seno Gumira Ajidarma. | √ | - |
4. | Ia pernah menggelar drama karyanya berjudul Pertunjukan Segera Dimulai pada 1976. | - | √ |
5. | Belakangan, ia mementaskan “Tumirah Sang Mucikari” (1998) yang diilhami oleh huru-hara politik di Tanah Air. | √ | - |
6. | Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai kontroversi. | - | √ |
7. | Ini kerja sama kedua setelah film “Mengejar Angin”. | √ | - |
8. | Film Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menggunakan dana APBD. | - | √ |
9. | Film “Hafalan Shalat Delisa” diangkat dari novel yang berjudul sama, Hafalan Shalat Delisa. | - | √ |
10. | Nurhadi menilai kelemahan film “Gending Sriwijaya” terletak pada cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja | √ | - |