Selasa, 28 April 2020

Negrito dan Weddid

Guru Madrasah
Sebelum  kedatangan  kelompok-kelompok  Melayu  tua  dan  muda,  negeri  kita  sudah  terlebih  dulu  kemasukkan  orang-orang  Negrito dan Weddid. Sebutan Negrito diberikan oleh orang-orang Spanyol karena yang mereka jumpai itu berkulit hitam mirip dengan jenis-jenis Negro. Sejauh mana kelompok Negrito itu bertalian darah dengan  jenis-jenis  Negro  yang  terdapat  di  Afrika  serta  kepulauan  Melanesia (Pasifik), demikian pula bagaimana sejarah perpindahan mereka, belum banyak diketahui dengan pasti.
orang Spanyol karena yang mereka jumpai itu berkulit hitam mirip dengan jenis Negrito dan Weddid
Kelompok  Weddid  terdiri  atas  orang-orang  dengan  kepala  mesocephal  dan  letak  mata  yang  dalam  sehingga  nampak  seperti  berang;  kulit  mereka  coklat  tua  dan  tinggi  rata-rata  lelakinya  155  cm. Weddid artinya jenis Wedda yaitu bangsa yang terdapat di pulau Ceylon  (Srilanka).  Persebaran  orang-orang  Weddid  di  Nusantara  cukup luas, misalnya di Palembang dan Jambi (Kubu), di Siak (Sakai) dan di Sulawesi pojok tenggara (Toala, Tokea dan Tomuna)Periode migrasi itu berlangsung berabad-abad, kemungkinan mereka  berasal  dalam  satu  kelompok  ras  yang  sama  dan  dengan  budaya  yang  sama  pula.  Mereka  itulah  nenek  moyang  orang  Indonesia saat ini. Sekitar  170  bahasa  yang  digunakan  di  Kepulauan  Indonesia  adalah bahasa Austronesia (Melayu-Polinesia). 

Bahasa itu kemudian dikelompokkan  menjadi  dua  oleh  Sarasin,  yaitu  Bahasa  Aceh  dan  bahasa-bahasa  di pedalaman  Sumatra,  Kalimantan,  dan  Sulawesi.  Kelompok kedua adalah bahasa Batak, Melayu standar, Jawa, dan Bali.  Kelompok  bahasa  kedua  itu  mempunyai  hubungan  dengan  bahasa  Malagi  di  Madagaskar  dan  Tagalog  di  Luzon.  Persebaran  geografis  kedua  bahasa  itu  menunjukkan  bahwa  penggunanya  adalah  pelaut-pelaut  pada  masa  dahulu  yang  sudah  mempunyai  peradaban lebih maju. Di samping bahasa-bahasa itu, juga terdapat bahasa Halmahera Utara dan Papua yang digunakan di pedalaman Papua dan bagian utara Pulau Halmahera.

Referensi; Bernard H.M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia