Kamis, 16 April 2020

Pendekatan Whole Language dalam Pembelajaran Bahasa

Guru Madrasah
Pendekatan whole language merupakan salah satu pendekatan pembelajaran bahasa yang mulai diperkenalkan di Indonesia. Keampuhan pendekatan ini telah banyak dibuktikan oleh beberapa negara yang menggunakannya. Kita perlu memahami pendekatan ini dengan baik agar dapat menerapkannya di kelas. Untuk itu, kali ini saya akan mencoba menjelaskan konsep pendekatan whole language, dengan harapan kita akan dapat memahami konsep pendekatan ini kemudian menerapkan dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD.

Apa yang akan kita pelajari? Dalam postingan kali ini kita akan sama-sama belajar tentang definisi dan latar belakang digunakannya whole language, komponen-komponen whole language, ciri-ciri kelas whole language, dan penilaian dalam kelas whole language.

A. Latar belakang 
Kita semua menyadari bahwa bahasa itu penting sekali perannya dalam kehidupan. Dengan bahasa, kita dapat menyampaikan keinginan, pendapat dan perasaan kita. Dengan bahasa pula kita dapat memahami dan mengetahui apa yang terjadi di dunia dan di lingkungan sekitar kita. Bahasa bukanlah suatu bakat yang dimiliki oleh sebagian orang saja, tetapi setiap orang memiliki kemampuan berbahasa.

Anak-anak telah belajar bahasa dan menguasai bahasa lisan dengan baik Jauh sebelum mereka sekolah. Sering kita jumpai anak yang pandai bercerita dengan susunan kalimat yang benar sehingga orang yang mendengarkannya dapat memahami jalan cerita tersebut, bahkan ternyata anak tersebut belum sekolah. Dalam hal ini, anak-anak tidak mempunyai kesulitan dalam belajar bahasa secara nonformal di rumah.

Namun, ketika anak mulai sekolah dan mendapat pelajaran bahasa, keadaan menjadi terbalik. Bahasa yang semula merupakan hal yang mudah dan mengasyikkan berubah menjadi pelajaran yang sulit (Goodman, 1986). Sering kita mendengar orang tua mengeluh tentang anaknya yang mendapat nilai kurang untuk pelajaran bahasa Indonesia, sementara nilai mata pelajaran lain, matematika misalnya, mendapat nilai yang cukup baik.

Pelajaran bahasa yang seharusnya menyenangkan dan mengasyikkan Ternyata jauh dari harapan. Ini disebabkan karena di sekolah, bahasa diajarkan secara terpisah-pisah. Pada umumnya guru mengajarkan keterampilan berbahasa dan komponen bahasa secara terpisah. Membaca diajarkan pada jam yang berbeda dengan menulis. Demikian pula pelajaran tentang struktur bahasa dan kosakata atau kesusastraan. Jarang kita temui siswa ditugasi membuat kalimat-kalimat lepas untuk melatih pola kalimat tertentu. Dengan sistem mengajar seperti ini, siswa tidak mendapatkan pelajaran bahasa yang utuh, seperti yang mereka pelajari sebelum mereka sekolah.

Disamping itu, materi yang diajarkan sering terlihat artifisial dan tidak relevan dengan kehidupan siswa sehingga tidak menarik bagi siswa. Pada pelajaran menulis, siswa diminta untuk menulis karangan tentang " bertamasya ke laut" misalnya, padahal mereka belum pernah melihat laut. Tentu saja siswa akan mendapatkan kesulitan dalam mengungkapkan pikirannya karena keterbatasan pengalaman mereka.

Dengan mengajarkan bahasa yang terpisah-pisah, sangat sulit untuk memotivasi siswa belajar bahasa karena siswa melihat apa yang dipelajarinya tidak ada hubungannya dengan kehidupan mereka. Untuk memperbaiki pengajaran bahasa, di beberapa negara seperti Inggris, Australia, New Zealand, Kanada, dan Amerika Serikat mulai menerapkan pendekatan whole language pada sekitar tahun 80-an (Routman, 1991)

Whole language adalah suatu pendekatan pengajaran bahasa yang menyajikan pengajaran bahasa secara utuh, tidak terpisah-pisah (Edelsky, 1991;Froese, 1990; Goodman, 1986, Weaver, 1992.). Para ahli Whole language yakin bahwa bahasa merupakan satu kesatuan (whole) yang tidak dapat dipisahkan (Rigg, 1991). Oleh karena itu pengajaran keterampilan berbahasa dan komponen bahasa seperti tata bahasa dan kosakata disajikan secara utuh dan dalam situasi nyata atau otentik. Pengajaran tentang penggunaan tanda baca seperti koma, semikolon atau titik koma, dan kolon misalnya, diajarkan sehubungan dengan pelajaran menulis. Jangan mengajarkan penggunaan tanda baca tersebut hanya karena materi itu tertera dalam kurikulum.

Pendekatan whole language disadari oleh paham konstruktivisme yang menyatakan bahwa anak atau siswa membentuk sendiri pengetahuannya melalui peran aktifnya dalam belajar secara utuh (whole) dan terpadu atau integrated (Roberts, 1996). Anak termotivasi untuk belajar jika mereka melihat bahwa yang dipelajari itu diperlukan oleh mereka. Orang dewasa, dalam hal ini guru, berkewajiban untuk menyediakan lingkungan yang menunjang untuk siswa agar mereka dapat belajar dengan baik. Fungsi guru dalam kelas whole language berubah dari desiminator informasi menjadi fasilitator (Lamme & Hysmith, 1993).

B. Komponen-komponen Whole Language 
Whole Language adalah cara untuk menyatukan pandangan tentang bahasa, tentang pembelajaran dan tentang orang-orang yang terlibat dalam pembelajaran. Dalam hal ini, orang-orang yang dimaksud adalah siswa dan guru. Whole Language dimulai dengan menumbuhkan lingkungan dimana bahasa diajarkan secara utuh dan keterampilan bahasa seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, diajarkan secara terpadu. Menerapkan Whole Language memang agak sulit karena tidak ada acuan yang benar-benar mengaturnya. Namun, kita dapat mencoba menerapkannya dengan mengetahui komponen-komponen yang terdapat dalam Whole Language.

Menurut Routman (1991) dan Froese (1991) ada 8 komponen whole language, yaitu reading aloud, journal writing, sustained silent reading, shared reading, guidid reading, independent reading, dan independent writing. Namun, sesuai dengan definisi whole language yaitu pembelajaran bahasa yang disajikan secara utuh dan tidak terpisah-pisah maka dalam menerapkan setiap komponen whole language di kelas kita harus pula melibatkan semua keterampilan dan unsur bahasa dalam kegiatan pembelajaran.

Sekarang mari kita pelajari komponen whole language tersebut satu persatu;

1. Reading aloud 
Kita mulai dari reading aloud. Reading aloud adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh guru untuk siswanya. Guru dapat menggunakan bacaan yang terdapat dalam buku teks atau buku cerita lainnya dan membacakannya dengan suara keras dan intonasi yang baik sehingga siswa dapat mendengarkan dan menikmati ceritanya. Kegiatan ini sangat bermanfaat terutama jika dilakukan di kelas rendah. Manfaat yang didapat dari reading aloud adalah meningkatkan keterampilan menyimak, memperkaya kosakata, membantu meningkatkan membaca pemahaman, dan yang tidak kalah penting adalah menumbuhkan minat baca pada siswa.

Reading aloud bukan hanya milik guru taman kanak-kanak ataupun guru kelas rendah saja. Reading aloud juga dapat dilakukan dan baik dilakukan di kelas tinggi. Dengan reading aloud, guru memberikan contoh membaca yang baik pada siswanya. Pada kelas yang menerapkan whole language, reading aloud dilakukan setiap hari saat memulai pelajaran. Guru hanya menggunakan waktu beberapa menit saja kurang lebih 10 menit untuk membacakan cerita. Kegiatan ini juga membantu guru untuk mengajak siswa memasuki suasana belajar.

Dari penjelasan tersebut kita dapat mencoba menerapkan reading aloud di kelas kita. Coba pilih cerita pendek yang menarik dari buku cerita atau dari buku teks yang kita punya. Lakukan kegiatan ini 2-3 kali seminggu sebelum, yang kemudian menjadi kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari. Lalu perhatikan perubahan yang terjadi pada siswa dan diri Anda.

2. Journal Writing
Bagi guru yang akan menerapkan whole language, menulis Jurnal adalah komponen yang dapat dengan mudah diterapkan. Jurnal merupakan sarana yang aman bagi siswa untuk mengungkapkan perasaannya, menceritakan kejadian di sekitarnya, membeberkan hasil belajarnya, dan menggunakan bahasa dalam bentuk tulisan.

Kita tahu bahwa sebenarnya anak-anak dari berbagai latar belakang memiliki banyak cerita, namun umumnya mereka tidak sadar bahwa mereka mempunyai cerita yang menarik untuk diungkapkan. Tugas guru disini adalah untuk mendorong siswa agar mau mengungkapkan cerita yang dimilikinya. Menulis jurnal bukanlah tugas yang harus dinilai namun guru berkewajiban untuk membaca jurnal yang ditulis anak dan memberi komentar atau respon terhadap tulisan tersebut sehingga ada dialog antara guru dan siswa.

Banyak manfaat yang dapat kita peroleh dari kegiatan menulis jurnal ini. Manfaat tersebut antara lain sebagai berikut:

  1. Meningkatkan kemampuan menulis 
  2. Meningkatkan kemampuan membaca 
  3. Menumbuhkan keberanian menghadapi resiko 
  4. Memberi kesempatan untuk membuat refleksi 
  5. Memvalidasi pengalaman dan perasaan pribadi 
  6. Memberikan tempat yang aman dan rahasia untuk menulis 
  7. Meningkatkan kemampuan berpikir 
  8. Meningkatkan kesadaran akan peraturan menulis 
  9. Menjadi alat evaluasi, dan 
  10. Menjadi dokumen tertulis 

Kita dapat melihat bagaimana besarnya pengaruh dan manfaat menulis jurnal jika diterapkan dalam kelas. Memang Hal ini terlihat berat bagi kita yang mempunyai kelas besar. Dapat kita bayangkan betapa repotnya Jika setiap hari harus memberi komentar atau respon terhadap setiap jurnal yang ditulis oleh siswa. Namun, kita bisa menyiasatinya sendiri bagaimana yang terbaik ketika menerapkan kegiatan ini. Misalnya, tidak setiap hari kita memberi komentar atau respon pada setiap anak. Kita bisa membagi siswa dalam kelompok dan memberi komentar atau respon perkelompok secara bergantian. Dengan demikian kita tidak perlu menghabiskan waktu untuk merespon jurnal siswa. Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa ini hanya satu contoh membagi waktu dalam memberi respon. Metode atau alternatif lain bisa kita cari yang dirasa terbaik dapat diterapkan pada situasi dan kondisi masing-masing.

3. Sustained Silent Reading
Yang ketiga adalah sustained silent reading atau SSR. SSR adalah kegiatan membaca dalam hati yang dilakukan oleh siswa. Dalam kegiatan ini siswa diberi kesempatan untuk memilih sendiri buku atau materi yang akan dibacanya. Biarkan siswa untuk memilih bacaan yang sesuai dengan kemampuannya, dapat menyelesaikan bacaan tersebut. Dan guru sedapat mungkin menyediakan bahan bacaan yang menarik dari berbagai buku atau sumber sehingga memungkinkan siswa dapat memilih materi bacaan. Guru dapat memberi contoh sikap membaca dalam hati yang baik sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan membaca dalam hati untuk waktu yang cukup lama. Pesan yang ingin disampaikan kepada siswa melalui kegiatan ini adalah;

  1. Membaca adalah kegiatan penting yang menyenangkan 
  2. Membaca dapat dilakukan oleh siapapun 
  3. Membaca berarti kita berkomunikasi dengan pengarang buku tersebut 
  4. Siswa dapat membaca dan berkonsentrasi pada bacaan nya dalam waktu yang cukup lama 
  5. Guru percaya bahwa siswa memahami apa yang mereka baca 
  6. Siswa dapat berbagi pengetahuan yang menarik dari materi yang dibacanya setelah kegiatan SSR.
4. Shared Reading

Shared reading adalah kegiatan membaca bersama antara guru dan siswa, dimana setiap orang mempunyai buku yang sedang dibacanya. Kegiatan ini dapat dilakukan baik di kelas rendah maupun di kelas tinggi. Ada beberapa cara melakukan kegiatan ini yaitu; 
  1. Guru membaca dan siswa mengikuti (untuk kelas rendah) 
  2. Guru membaca dan siswa menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku 
  3. Siswa membaca bergiliran 
Maksud kegiatan ini adalah 
  1. Sambil melihat tulisan, siswa berkesempatan untuk memperhatikan guru membaca sebagai model 
  2. Memberikan kesempatan untuk memperlihatkan kemampuan membacanya 
  3. Siswa yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh membaca yang benar. 
Kegiatan ini sepertinya sering dilakukan oleh guru, yaitu di mana ketika seorang guru membahas suatu topik kemudian siswa diminta untuk membaca keras secara bergantian. Dalam hal ini, anda telah melakukan kegiatan shared reading. Baiknya anda meneruskan kegiatan ini dengan melibatkan keterampilan lain, seperti berbicara dan menulis agar kegiatan menjadi Kegiatan berbahasa yang utuh dan riel.

5. Guided Reading
Tidak seperti shared reading, di mana guru lebih berperan sebagai model dalam membaca, guided reading atau disebut juga membaca terbimbing guru menjadi pengamat dan fasilitator. Dalam membaca terbimbing penekanannya bukan dalam cara membaca itu sendiri, tetapi lebih pada membaca pemahaman. Dalam guided reading, semua siswa membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Guru melemparkan pertanyaan yang meminta siswa menjawab dengan kritis, bukan sekedar pertanyaan pemahaman. Kegiatan ini merupakan kegiatan membaca yang penting dilakukan di kelas. 

6. Guided Writing 
Ini disebut juga dengan menulis terbimbing. Seperti dalam membaca terbimbing, menulis terbimbing peran guru adalah sebagai fasilitator, membantu siswa menemukan apa yang ingin ditulisnya, dan bagaimana menulisnya dengan jelas, sistematis, dan menarik. Guru bertindak sebagai pendorong bukan pengatur, sebagai pemberi saran bukan Pemberi Petunjuk. Dalam kegiatan ini proses menulis atau writing, seperti memilih topik, membuat draft, memperbaiki, dan mengedit dilakukan sendiri oleh siswa. 

7. Independent reading 
Independent reading atau membaca bebas adalah kegiatan membaca, di mana siswa berkesempatan untuk menentukan sendiri materi yang ingin dibacanya. Membaca bebas merupakan bagian integral dari whole language. Dalam independent reading siswa bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran guru pun berubah dari seorang pemrakarsa, model, dan memberi tuntunan menjadi seorang pengamat, fasilitator, dan memberi respons. Menurut penelitian yang dilakukan Anderson dkk.(1988), membaca bebas yang diberikan secara rutin walaupun hanya 10 menit setiap hari dapat meningkatkan kemampuan membaca pada siswa. 

Dan jika anda sebagai guru menerapkan independent reading, sebaiknya menyiapkan bacaan yang diperlukan untuk siswa. Bacaan tersebut dapat berupa fiksi maupun nonfiksi. Pada awal penerapan independent reading, anda dapat membantu siswa memilih buku yang akan dibacanya dengan memperkenalkan buku-buku tersebut. Misalnya, membacakan sinopsisnya atau ringkasan buku yang terdapat pada halaman sampul. Atau jika anda pernah membaca buku tersebut Anda bisa menceritakan sedikit tentang isi buku itu. Dengan mengetahui sekelumit tentang cerita, siswa akan termotivasi untuk memilih buku yang akan dibacanya sendiri. Demikian juga ketika mempunyai buku baru, sebaiknya buku tersebut diperkenalkan agar siswa dapat mempertimbangkan untuk membacanya atau tidak. 

Dalam memperkenalkan buku, sebaiknya Anda juga membahas tentang pengarang dan ilustrator yang biasanya tertulis dalam halaman akhir, jika tidak ada keterangan tertulis tentang pengarang atau Illustrator, anda paling tidak dapat menyebutkan nama-nama tambahkan sedikit informasi yang ada atau yang diketahui, hal ini penting dilakukan agar siswa sadar, bahwa sesungguhnya buku itu ditulis oleh manusia bukan mesin. 

Buku yang dibaca siswa untuk independent reading tidak selalu harus didapat dari perpustakaan sekolah atau kelas, atau disiapkan guru. Siswa dapat saja mendapatkan buku dari berbagai sumber seperti perpustakaan Kabupaten atau kota, buku-buku yang ada di rumah, di toko buku, pinjam teman atau dari sumber lainnya. Inti dari independent reading adalah membantu siswa meningkatkan kemampuan pemahaman nya, mengembangkan kosakata, melancarkan membaca, dan secara keseluruhan memfasilitasi membaca.

8. Independent writing 
Independent writing atau menulis bebas bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kebiasaan menulis, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Dalam menulis bebas siswa mempunyai kesempatan untuk menulis tanpa ada intervensi dari guru. Siswa bertanggung jawab sepenuhnya dalam proses menulis. Jenis menulis yang termasuk dalam independent writing adalah menulis jurnal, dan menulis respons. 

Setelah kita mengenal komponen-komponen whole language, sudahkah anda berpikir untuk menerapkan pendekatan ini di kelas? Jika akan menerapkan pendekatan ini mulailah perlahan-lahan. Jangan mencoba menerapkan semua komponen sekaligus karena dapat membingungkan siswa. Cobalah satu komponen terlebih dahulu dan perhatikan hasilnya. Jika siswa telah terbiasa menggunakan komponen tersebut, kemudian anda bisa mencoba lagi untuk menerapkan komponen yang lain. 

Anderson (1985) mengingatkan bahwa perubahan menjadi kelas whole language memerlukan waktu yang cukup lama karena perubahan harus dilakukan dengan hati-hati dan perlahan agar menghasilkan whole language yang diinginkan.

C. Ciri-ciri Kelas Whole Language
Ada 7 ciri yang menandakan kelas Whole language; 
  1.  Kelas yang menerapkan Whole language penuh dengan barang cetakan. Barang-barang tersebut tergantung di dinding, pintu, dan furniture. Label yang dibuat Siswa ditempel pada meja, kabinet, dan sudut belajar. Poster hasil kerja siswa menghiasi dinding dan buletin board. 
  2. Di kelas whole language siswa belajar melalui model atau contoh. Guru dan siswa bersama-sama melakukan kegiatan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara. Overhead projector dan transparansi dapat digunakan untuk memperagakan proses menulis. Siswa mendengarkan cerita melalui audio untuk mendapatkan contoh membaca yang benar. 
  3. Di kelas whole language, siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya. Agar siswa dapat belajar sesuai dengan Tingkat kemampuan atau perkembangannya, maka di kelas tersedia buku dan materi yang menunjang. Buku tersebut disusun berdasarkan Tingkat kemampuan membaca siswa sehingga siswa dapat memilih buku yang sesuai untuk nya. Di kelas juga tersedia meja besar yang dapat digunakan siswa untuk menulis, melakukan editing dengan temannya, atau membuat cover buku yang ditulisnya. Langkah-langkah proses menulis tertempel di dinding sehingga siswa dapat melihat setiap saat. 
  4. Di kelas whole language siswa berbagi tanggung jawab dalam pembelajaran. Peran guru disini lebih sebagai fasilitator dan siswa mengambil alih beberapa tanggung jawab yang biasanya dilakukan guru. Siswa membuat kumpulan kata, melakukan brainstorming dan mengumpulkan fakta. Pekerjaan siswa ditulis pada chart dan terpampang di seluruh ruangan. 
  5. Di kelas whole language siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran bermakna. Siswa secara aktif terlibat dalam kegiatan pembelajaran yang membantu mengembangkan rasa tanggung jawab dan tidak tergantung. Siswa terlibat dalam kegiatan kelompok kecil atau kegiatan Individual, menulis respon terhadap buku yang dibacanya, membuat buku, menuliskan kembali cerita rakyat atau mengedit draft final. Guru terlibat dalam Konferensi dengan siswa atau berkeliling ruangan mengamati siswa, berinteraksi dengan siswa atau membuat catatan tentang kegiatan siswa. 
  6. Di kelas whole language siswa berani mengambil resiko dan bebas bereksperimen. Guru menyediakan kegiatan belajar dalam berbagai Tingkat kemampuan sehingga semua siswa dapat berhasil. Kemudian hasil tulisan siswa dipajang tanpa ada tanda koreksi. 
  7. Ketujuh, di kelas whole language bisa mendapat feedback atau balikan positif baik itu dari guru atau temannya. Ciri khas whole language, bahwa pemberian balikan atau feedback dilakukan dengan segera.
Dari ke-7 ciri tersebut dapat dilihat bahwa siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Guru tidak perlu lagi berdiri di depan kelas untuk menyampaikan materi. Sebagai fasilitator, guru berkeliling kelas mengamati, dan mencatat kegiatan siswa, dalam hal ini guru menilai siswa secara informal.