Pada abad ke-19 di Bali berkembang kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Jembrana, Tabanan, Menguri dan Bangli. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels mulai terjadi kontak dengan kerajaan-kerajaan di Bali terutama urusan dagang dan sewa menyewa orang-orang Bali untuk dijadikan tentara.
Dalam perkembangannya pemerintah Hindia Belanda ingin menanamkan pengaruh dan berkuasa di Bali. Belanda mengirim dua utusan dengan misi masing-masing. Pertama, G.A. Granpre Moliere untuk misi ekonomi, dan Huskus Koopman mengemban misi politik. Misi ekonomi berjalan lancar. Tetapi misi politik menghadapi berbagai kendala.
Huskus Koopman berusaha mendekati raja-raja di Bali agar bersedia mengakui keberadaan dan kekuasaan Belanda. Akhirnya dicapai perjanjian atau kontrak politik dengan Raja Badung (28 November 1842), dengan Raja Karangasem (1 Mei 1843), dengan Raja Buleleng ( 8 Mei 1843), dengan Raja Klungkung (24 Mei 1843) dan Tabanan (22 Juni 1843). Perjanjian kontrak antara raja-raja di Bali dengan Belanda itu terutama seputar Hukum Tawan Karang agar dihapuskan.
Tetapi sampai tahun 1844 Raja Buleleng dan Karangasem belum melaksanakan perjajian tersebut. Pada tahun 1844 penduduk melakukan perampasan isi dua kapal Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit (Buleleng) dan Jembrana (waktu itu juga daerahnya Buleleng).
Belanda memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasem agar melaksanakan isi perjanjian. Raja Gusti Ngurah Made Karangasem dengan dukungan patihnya, I Gusti Ktut Jelantik, dengan tegas menolak tuntutan Belanda tersebut. Beliau dan menghimpun kekuatan untuk melawan sehingga perang tidak dapat dihindarkan.
Pada tanggal 27 Juni 1846 datang pasukan Belanda berkekuatan 1.700 orang pasukan darat yang langsung menyerbu kampung-kampung di tepi pantai dan pasukan laut yang datang dengan kapal-kapal sewaan. Pertempuran sengit terjadi antara para pejuang melawan Belanda.
Benteng pertahanan Buleleng jebol dan ibu kota Singaraja dikuasai Belanda. Raja dan Patih Ktut Jelantik beserta pasukannya, terpaksa mundur sampai ke Desa Jagaraga. Pasukan Belanda terus mendesak dan memaksa Raja Buleleng untuk menandatangani perjanjian. Perjanjian ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1846 yang isinya antara lain:
- Dalam waktu tiga bulan, Raja Buleleng harus menghancurkan semua benteng Buleleng yang pernah digunakan dan tidak boleh membangun benteng baru,
- Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah dikeluarkan Belanda, sejumlah 75.000 gulden, dan raja harus menyerahkan I Gusti Ktut Jelantik kepada pemerintah Belanda,
- Belanda diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng.
Tekanan dan paksaan Belanda itu ditandingi dengan tipu daya. Raja dan para pejuang pura-pura menerima isi perjanjian itu. Tetapi di balik itu Raja dan Patih Ktut Jelantik memperkuat pasukannya. Di Jagaraga dibangun benteng pertahanan yang kuat bagaikan gelar-supit urang. Rakyat juga sengaja tetap mempertahankan Hukum Tawan Karang.
Pada tahun 1847 saat ada kapal-kapal asing terdampar di Pantai Kusumba Klungkung, tetap dirampas oleh kerajaan. Belanda kemudian mengeluarkan ultimatum agar raja-raja di Buleleng, Klungkung dan Karangasem mematuhi dan melaksanakan isi perjanjian yang telah ditandatangani. Raja-raja di Bali tidak menghiraukan ultimatum Belanda, rakyat justru dipersiapkan untuk melawan. Mereka mendapat pasukan tambahan dari Klungkung, Karangasem, Mengwi.
Pada tanggal 7 dan 8 Juni 1848 mendarat bala bantuan Belanda di Pantai Sangsit. Tanggal 8 Juni serangan Belanda terhadap benteng Jagaraga dipimpin oleh J. van Swieten, Letkol Sutherland Benteng Jagaraga terus dihujani meriam.
Pasukan Buleleng di bawah pimpinan Ktut Jelantik yang dibantu isterinya, Jero Jempiring mampu mengembangkan pertahanan dengan gelar-supit urang sehingga dapat menjebak pasukan Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur.
Pasukan Buleleng di bawah pimpinan Ktut Jelantik yang dibantu isterinya, Jero Jempiring mampu mengembangkan pertahanan dengan gelar-supit urang sehingga dapat menjebak pasukan Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur.
Pada awal April 1849 telah datang kesatuan serdadu Belanda menuju ke Jagaraga. Pada tanggal 15 April 1849 semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk menyerang Jagaraga. Dalam tempo dua hari, semua kekuatan di Jagaraga dapat dilumpuhkan oleh Belanda.
Raja Buleleng diikuti I Gusti Ktut Jelantik dan Jero Jempiring menyingkir ke Karangasem. Tetapi mereka tertangkap dan terbun*h. Dengan wafatnya Raja Buleleng dan Patih Ktut Jelantik maka Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda.
Pada bulan Mei 1849 Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba (Klungkung) jatuh pula ke tangan Belanda. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi. Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung, pada tahun 1908 terjadi Perang Puputan di Klungkung.
Puputan adalah istilah dalam bahasa Bali yang mengacu pada ritual bunuh diri massal yang dilakukan saat perang daripada harus menyerah kepada musuh. Raja Klungkung, Dewa Agung Jambe bersama keluarga, kerabat, prajurit dan sejumlah rakyatnya gugur dalam sebuah perang penghabisan menghadapi tentara Belanda. Peristiwa ini kerap dikenal orang Bali sebagai perang Puputan Klungkung.
Nilai yang terkadung dalam Perang Puputan antara lain patriotisme. Mereka mempunyai moral yang sangat agung untuk tidak serta merta tunduk pada belanda. Meskipun mereka tahu bahwa mereka akan kalah tapi mereka tetap berperang hingga orang terakhir. Semua demi mempertahankan tanah dewata. Kecintaan terhadap tanah air, tempat dimana bumi mereka berpijak. Banggalah mereka yang menjunjung tinggi nasionalis dan mengetahui sejarah bangsanya. Terutama rakyat bali dengan semangat puputannya.
Pada bulan Mei 1849 Karangasem berhasil ditaklukkan, berikutnya Kusumba (Klungkung) jatuh pula ke tangan Belanda. Pertempuran demi pertempuran masih terus terjadi. Tahun 1906 terjadi Perang Puputan di Badung, pada tahun 1908 terjadi Perang Puputan di Klungkung.
Puputan adalah istilah dalam bahasa Bali yang mengacu pada ritual bunuh diri massal yang dilakukan saat perang daripada harus menyerah kepada musuh. Raja Klungkung, Dewa Agung Jambe bersama keluarga, kerabat, prajurit dan sejumlah rakyatnya gugur dalam sebuah perang penghabisan menghadapi tentara Belanda. Peristiwa ini kerap dikenal orang Bali sebagai perang Puputan Klungkung.
Nilai yang terkadung dalam Perang Puputan antara lain patriotisme. Mereka mempunyai moral yang sangat agung untuk tidak serta merta tunduk pada belanda. Meskipun mereka tahu bahwa mereka akan kalah tapi mereka tetap berperang hingga orang terakhir. Semua demi mempertahankan tanah dewata. Kecintaan terhadap tanah air, tempat dimana bumi mereka berpijak. Banggalah mereka yang menjunjung tinggi nasionalis dan mengetahui sejarah bangsanya. Terutama rakyat bali dengan semangat puputannya.